Sri
Julfiyanik/Dr.Wahidullah/Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
CINTA
TANAH AIR SEBAGIAN DARI IMAN
Cinta
tanah air atau yang disebut juga dengan hubb al wathan merupakan perasaan
bangga dan ikut memiliki sebuah wilayah atau tempat tinggal kita dilahirkan.
Cinta tanah air bisa diwujudkan dengan cara berpikir, bersikap, kepedulian,
kesetiaan, kebanggaan, rasa memiliki, menghargai, menghormati dan loyalitas
tinggi yang dimiliki oleh setiap individu pada negara tempat tinggal. Selain itu dapat diwujudkan dari
perilaku membela tanah airnya, terus menjaga dan melindungi tanah airnya,
selalu rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya serta mencintai
dan melestarikan adat dan budaya yang dimiliki. Hal ini diwujudkan untuk
melindungi wilayahnya dari berbagai ganggungan dan ancaman dari luar. Cinta
tanah air juga dikenal dengan istilah nasionalisme yang merupakan wujud
kebangsaan yang merupakan kesetiaan tertinggi individu terhadap bangsa dan
tanah airnya.
Dalam
Islam cinta tanah air ini merupakan kesadaran akan tanggung jawab pemenuhan
kewajiban-kewajiban atas Negara. Rasulullah SAW
dalam piagam Madinah memutuskan bahwa semua warga Negara adalah satu
tangan atas tangan yang lainnya, bahu-membahu melawan ancaman dan permusuhan
atas tanah mereka, bekerja sama antara satu sama yang lain untuk mewujudkan
kepentingan mereka, menjaga Negara, dan kehormatan mereka. Mencintai tanah air
termasuk dalam masalah fitrah dan islam adalah agama fitrah. Akan tetapi
mecintai tanah air mempunyai batasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan
ibadah serta ajaran syariat islam.
Dalam
sebuah hadits Shahih Bukhari Rasulullah SAW, pernah berdoa yang artinya, “Ya
allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau
melebihi cinta kami kepada Mekkah.” (HR.al-Bukhori 7/161). Dari hadits tersebut
sangatlah jelas bahwa rasulullah dan para sahabatnya mencinta tanah airnya,
yaitu sebagai tanah kelahiran beliau, dan Madinah sebagai tempat beliau hijrah.
Sesuai firman Allah SWT yang artinya, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi
(tanah) dan menjadikan kamu kemakmurannya.” (QS Hud:61). Dari ayat al-qur’an
tersebut kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki tanah air yaitu Negara
Indonesia, cara kita mengungkapkan rasa cinta tanah air pada saat ini yaitu
dengan cara menghormati peraturan-peraturan terutama pada undang-undang,
menjaga dan peduli terhadap lingkungan saling menghormati hak dan berbedaan
agama, bermsyarakat dan bernegara dengan cara yang baik dan ikut serta
membangun kemajuan bangsa.
Para
ulama’ Indonesia juga mengeluarkan pendapat tentang cinta tanah air merupakan
kewajiban bagi seluruh warga negara. Dalam putusan Majelis Ulama’ Indonesia
(MUI), membela tanah air adalah hal yang wajib. Ungkapan yang paling sering kita dengar adalah : Cinta tanah air
adalah bagian dari iman, Dalam kalimat bahasa arab adalah “Hubb Al Wathan Minal
Iman”, kata “Hubb” mempunyai arti cinta atau senang atau rasa memiliki. “Al
Wathan” yang diartikan sebagai tanah air atau tanah kelahiran. “Min” yang dapat
diartikan sebagai atau sebagian dari. Kata “Al Iman” berarti kepercayaan,
keyakinan atau ketauhidan, Iman juga berarti perasaan percaya tertinggi manusia
kepada tuhannya.
Makna
penting dari cinta tanah air atau Hubb Al Wathan Minal Iman adalah cinta tanah
air sebagai wujud syukur terhadap melimpahnya karunia Tuhan terhadap tanah
airnya yang sesuai dengan Maqasid Asy Syari’ah diantaranya menjaga agama,
pikiran, jiwa, harta, keturunan dan tanah airnya. Mencintai tanah air itu bukan hanya karena
tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk keimanan kita. Karena, jika kita mengaku
diri kita sebagai orang yang beriman, amak mencintai Indonesia sebagai tanah
air merupakan keharusan.
Hubbul
Wathan Minal Iman merupakan konsep yang pernah digagas oleh KH. Abdul Wahab
Chasbullah pada tahun 1934. Beliau adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama
dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Bapak Presiden Jokowi di
tahun 2014. Beliau juga yang membuat syair “Ya Lal Wathon” pada tahun 1934.
Jika kita mengingat ke belakang untuk mengenang sejarah berdirinya bangsa ini,
akan banyak sekali kita temukan para ulama dan para santri yang berjuang untuk
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Resolusi
jihad NU yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1945, yaitu juga
nengungkapkan kewajiban setiap umat Islam untuk berjuang membela negara dan
bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang. Resolusi jihad
tersebut menjadi salah satu semangat rakyat Indonesia dalam perang 10 Nopember
1945 di Surabaya yang merupakan perlawanan terbesar bangsa Indonesia setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari Sebagai salah
satu ulama’ yang berpengaruh di Indonesia, menyerukan perlawanan dan perjuangan
terhadap penjajah.
Makna
yang terkandung dalam bait “Hubb Al Wathan” adalah sebuah penghambaan manusia
terhadap tuhannya. Akan tetapi dalam hal ini bukan berarti menjadikan tanah air
sebagai tuhan atau sesembahan, melainkan mewujudkan perasaan cinta kepada Allah
dan mensyukuri apa yang telah diberikannya. Cinta kepada Tuhan merupakan hal
yang wajib bagi setiap hambanya, dapat ditandai dengan mencintai makhluk
ciptaanNya. Mencintai tanah airya sebagai ungkapan syukur atas karunia Tuhan
yang telah memberikan segala karunianya.
Indonesia
tidak akan bertahan menjadi negara multikultur, bhineka, dan damai jika
penduduknya tidak memegang teguh 4 pilar kebangsaan. Kunci dari 4 pilar
kebangsaan itu salah satunya adalah nasionalisme. Maka menjaga substansi dan
marwah nasionalisme hukumnya wajib bagi setiap orang yang lahir dan besar di
Indonesia. Nasionalisme yang dimaksud tidak hanya dalam hal budaya, namun juga
dalam agama, baik itu Islam, Hindu, Kristen, Budha dan lainnya. Nasionalisme di
Indonesia dengan nasionalisme di luar negeri memang beda. Nasionalisme ini
dapat diterima masyarakat Indonesia setelah diberi makna dan isi yang berbeda
dengan Barat. Di Indonesia nasionalisme yang diterima adalah nasionalisme
tauhid/Islam dan kebudayaan, menerima rasa hidupnya sebagai wahyu, dan
menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti atau patuh.
Semangat
Hubbul Wathan Minal Iman mendasari bahwa menjadi nasionalis justru menjadi
representasi muslim yang kafah dalam beragama, bukan sebaliknya. Belakangan
ini, adanya kelompok yang mempertentangkan nasionalisme dan spirit beragama
justru mengingkari substansi agama itu sendiri sebab, tidak ada yang menyuruh
pemeluknya melawan, apalagi mengganti dasar negara. Kunci yang utama sebenarnya
hanya satu, yaitu Hubbul Wathan Minal Iman. Artinya, mencintai tanah air sudah
mencakup mencintai semua hal dan itu sudah sangat “islami”. Mulai dari cinta
agama, negara, suku, bahasa, budaya dan semua yang ada didalamnya.
Semangat
cinta tanah air memang urgen dan harus dipertahankan. Nasionalisme dan Islam
adalah satu kesatuan untuk melawan penjajah, melawan ancaman dari luar yang
dapat meruntuhkan keutuhan negara. Perjuangan melawan penjajah dan pertarungan ideologi dalam negeri sudah
ketinggalan zaman jika memisah-misahkan antara nasionalisme dan Islam,
nasionalisme dengan Kriten, Hindu dan agama lainnya. Padahal, penyatuan
semangat Islam dan nasionalisme sejak dulu terbukti ampuh untuk mengusir
penjajah. Menurut Mintaredja (1972, 55) zaman perjuangan kemerdekaan, aspirasi
Islam dan nasionalisme adalah senjata ampuh melawan penjajah. Sekarang zaman
sudah berubah pesat, musuh bangsa ini juga berbeda. Bahkan, Sukarno (1901-1970)
pernah menyatakan “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi
perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Benar
adanya, kita sampai detik ini disibukkan perselisihan dengan saudara sendiri.
Padahal, perselisihan selalu destruktif, menyakitkan dan puncaknya kehancuran.
Para penjajah juga cerdik, saat ini melakukan kembali adu domba atau politik devide et impera yang
tidak disadari publik. Dari pendapat Abuddin Nata tahun 2016 dan Mintaredja
tahun 1972 dapat disimpulkan menjaga ruh nasionalisme sangat urgen karena
nasionalisme sejak zaman penjajah terbukti ampuh bisa menggerakkan masyarakat,
kiai dan santri untuk mengusir penjajah. Nasionalisme yang didasari Hubbul
Wathan Minal Iman juga merepresentasikan warga negara yang ramah. Jika
dilaksanakan serius, maka akan melahirkan generasi yang tawassut (moderat),
tawazun (seimbang), ta’adul (adil) dan tasamuh (toleran). Dulu adu domba
berbasis strategi politik, militer, dan ekonomi, tetapi sekarang juga masih
terdapat diadu domba yaitu para ulama, kiai, dan ormas Islam. Para kiai diadu
domba dengan kiai, ulama dan ormas Islam dibenturkan atau dikaitkan dengan
ulama dan ormas yang lain sehingga terjadi perselisihan. Semua yang seharusnya
bersatu tetapi justru berseteru karena penjajahnya atau permasalahan dari negeri
sendiri. Orang yang sudah punya bekal cinta tanah air pasti akan melakukan apa
saja ketika bangsanya terancam dan diganggu. Sebab, sifat dasar manusia adalah
cinta dan kasih sayang yang dapat menggerakkan fisik manusia melakukan
kebaikan.
Perasaan cinta tanah
air dapat diwujudkan cara sebagai berikut:
(1)
Menjaga dan mengharumkan nama bangsa
Indonesia
(2)
Rela berkorban, melindungi, dan
membangun kehidupan bangsa yang lebih baik lagi.
(3)
Berjiwa dan berkpribadian;
(4)
Bangga bertanah air dengan beragam suku
budayanya;
(5)
Tidak melakukan perbuatan dan tindakan
yang merugikan bangsa
(6)
Setia dan taat pada aturan dan norma
yang berlaku.
(7)
Menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh
dalam bidam umum maupun keagamaan.
Maka dari itu perwujuduan nasionalisme dan Hubbul Wathan Minal harus dimaksimalkan terutama pada lembaga pendidikan Islam untuk mencetak generasi yang setia kepada Indonesia. Hal itu termasuk cara strategis untuk menebas lahirnya generasi antinasionalisme, faham dan aliran radikal yang mengancam keutuhan Indonesia. Nasionalisme memanglah bukan segalanya, akan tetapi keutuhan negara yang di dalamnya ada suku, bahasa, budaya dan agama berawal dari sana. Tanpa adanya nasionalisme, Indonesia akan mudah dijajah dan dihancurkan.
0 komentar:
Posting Komentar